"Kata ini" di negeri petualangan indah


Sebenarnya saya tidak ingin tulis kata ini. Tapi kata inilah yang membuat saya menulis tulisan ini. Saya hanya mengingatkan saja. 

Kata ini sering disebut dalam diskusi dan perbincangan orang sehari-hari akhir-akhir ini. Sering juga digunakan dalam tulisan-tulisan di media massa dan lebih-lebih di media sosial. Dia seperti tengah jadi pajangan dalam pikiran-pikiran manusia.

Dia sebenarnya tidak ingin dipajang. Banyak yang menginginkannya agar segera musnah. Tapi mau tidak mau harus dibicarakan. Mungkin karena ingin tahu perkembangannya. Mungkin juga ingin menyemai gersangnya pikiran penasaran. Manusia sebagai makhluk berpikir memang demikian. 

Kata itu adalah corona atau covid19. Kata ini yang tengah jadi perbincangan manusia-manusia di banyak tempat. Bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di seantero dunia.

Sebenarnya belakangan ini, saya tidak ingin mendengar kata ini. Membicarakannya pun tidak. Bahkan ingin menyingkirkan dari gerbang pikiranku sebelum dia masuk menyelinap. Masalahnya, dia selalu bertengger dalam kata, frase dan kalimat-kalimat yang ada dan siap menyelinap. Saking banyaknya sehingga tak bisa terhitung lagi berapa jumlah kata ini terlontar dalam hitungan detik. 

Tidak masalah jika kata corona ini sering digunakan. Sepeti halnya kata surga yang sering orang merindukan untuk berada di dalamnya. Pasalnya, kata ini datang dengan makna yang garang, menakutkan. Benar, dia adalah virus/penyakit yang menjangkiti manusia melintasi negara dan benua (pandemi), bahkan korbannya sekarang sudah mencapai satu jutaan. Kan? Menakutkan kan? Ah, kenapa saya tulis kalimat menakutkan ini?

Anggap saja dia manusia. Kalau dalam hukum, orang ini akan dituntut dengan pasal yang berlapis. Mulai dari pasal ancaman, intimidasi, pembunuhan berencana, menggangu ketentraman sosial sampai mengacaukan stabilitas ekonomi bahkan politik. 

Tapi poin utama yang saya maksudkan di sini adalah dia mengancam kesehatan. Lebih spesifik lagi mental karena seringnya terdengar bahkan tergemakan yang terus mencercoki telinga. Otak juga jadi sasaran. Dari telinga, kemudian masuk ke otak dan memantul terjebak sehingga sulit untuk keluar dalam labirin pikiran. 

Yah, betul. Informasi negatif akan kata ini menjadi ancaman tersendiri. Terlepas dari ancamana ketika dia menginveksi manusia. Kabar yang terus berputar dan beredar di masyarakat melalui media massa dan sosial membuat pikiran terganggu. Ada ketakutan yang dimunculkan. 

Bagi yang membacanya, informasi itu bagai monster dalam pikirannya. Si monster memukul jatuh mental sehingga melemahkan daya tahan tubuh yang akhirnya tubuh kalah dan jatuh sakit. Bahkan akhirnya bisa saja terinvesksi virus ini.

Suatu hari, ada infomasi ajakan ikut diskusi melalui media sosial. Judulnya seputaran tentang kata ini. Saya enggan ikut karena ingin menghindarinya. 

Sama hal teman saya, tiba-tiba menghilang dari peredaran media sosial. Semua media sosialnya di tutup. Tujuannya agar tidak ingin membaca soal kata ini lagi. Karna kata dia, setiap kali membuka akun-akun mendia sosialnya, perbincangan ini selalu muncul dan bisa dikatakan semuanya negatif.

Selain menghindari diskusi seperti yang sebutkan di atas, saya juga mulai menghindari membaca, mendengar dan melihat kabar-kabar tentang kata ini. Karena semuanya menjadi gerbang untuk masuk menyampah dalam pikiran dan menganggu. Ini juga berlaku untuk kabar-kabar lain yang selalu negatif. Bukankah akan lebih baik jika yang terpajang dalam pikiran adalah informasi-informasi yang baik? Benar. Saatnya selektif.

Mari membaca bagaimana bisa berpetualang ke tempat-tempat indah nan alami dan menikmati makanan-makanan tradisional dengan rempah khas nusantara. Dan kata ini diganti dengan negeri petualangan indah.

~Makassar, 8 April 2020

Komentar