Covid19 dan Ketakutan Berlebihan

Pada suatu malam tersiar kabar bahwa telur yang dimasak setengah matang bisa mencegah penyakit covid19. Kabar itu sebelum ramadhan tiba dan akan segerah tiba. Kabar yang tersiar di media sosial ini dengan cepat bagai api yang membakar semak belukar di musim kemarau. 

Hampir semua telinga orang tergemakan oleh pesan berantai ini, tidak terkecuali di salah satu pulau kecil di ujung Sulawesi Tenggara: Pulau Tomia.

Saya terlambat mendengar kabar ini. Saat pagi saat membuka media sosial, warga internet (netizen) ramai-ramai membicarakan ini. Tapi topiknya lebih kepada lelucon agar semua orang tertawa. Menertawakan dampak dari perihal ini terutama pada korbannya yakni masyarakat. 

Kenapa korban? Yes, telur sebagai obat pencegah bahkan penyembuh itu adalah kabar palsu alias hoax. Sayangnya, sebelum diketahui sebagai berita palsu, sangat banyak orang di seantero nusantara begitu mempercayainya. Banyangkan saja – setelah saya melakukan penulusuran - di kampung saya, orang rela bangun tengah malam untuk mencari telur. 

Seketika harga telur melonjak tajam bahkan terjadi kelangkaan seketika. Ada juga orang yang demi memperoleh sebutir telur, rela melakukan perjalanan jauh tengah malam dengan mengunjungi kampung di “gunnung”: dari Kelurahan Bahari ke Desa Kahianga. 

Cerita lain juga, ada warga Tomia di Papua menelpon sekitar jam 2 malam ke keluarganya di kampung hanya untuk menginformasikan agar segera mengonsumsi telur setengah matang. Ada ibu yang membangunkan anaknya yang balita agar segera memakan telur. Serta aneka cerita lelucon lain yang bisa membuat kita tertawa terpingkal-pingkal.

Sangat tampak terlihat bagaimana ketakutan dan kepanikan berlebihan bisa menjadikan orang tidak rasional. Bisa melakukan apa saja agar bisa selamat seperti halnya orang tenggelam di tengah lautan, ranting kecilpun akan diraih meskipun tidak bisa mengapungkan. 

Inilah yang terjadi di tengah kasus Covid19 yang terus mengemuka dalam perbincangan nasional maupun di tingkat pelosok kampung-kampung. Kabar ini merajai pemberitaan selama berminggu bahkan berbulan-bulan (tidak tau apakah akan tahunan karena kurva kasus ini terus menanjak, kita akan lihat nanti). Dengan cepat energi ketakutan menginveksi siapa yang mendengar dan melihatnya.

Masih di Kampungku, cerita ketakutan yang berlebihan (phobia) juga terjadi dalam bentuk yang lain. Akibat pemberitaan tentang Covid19 tidak sedikit orang di sini meresponnya secara berlebihan. Di beberapa perbatas desa atau perkampungan, terpasang posko pemeriksaan. Posko-posko itu dibuat oleh warganya sendiri atas hasil kesepakatan mereka secara umum. 

Tugas posko itu ialah mengharuskan orang-orang di luar desa/kampung yang akan masuk ke kawasan itu untuk mencuci tangan pakai sabun dan memakai masker. Sehingga disediakan pencuci tangan dan sabun tapi tidak untuk masker. 

Tidak peduli apakah kamu hanya sekedar melintas atau singgah untuk keperluan tertentu di kampung itu, maka tetap harus cuci tangan pakai sabun. Okelah untuk singgah di kampung itu, dalil ini bisa diterima tapi masalahnya adalah apakah semua warga kampung tersebut  sudah mencuci tangan dan memakai masker? Dari pengamatannya saya, mereka tidak melakukannya. Belum lagi penjaga poskonya yang tidak taat pada protokol kesehatan: tidak berkerumum atau menjadi jarak. Faktanya mereka sering melanggarnya. Terjadi ketidakkonsistenan atau asal-asalan.

Terkait cuci tangan, juga cukup menggelitik. Bayangkan saja bagi orang yang hanya sekedar melintas ke kampung lain dengan sepeda motor dan mobil, maka kita diwajibkan cuci tangan. Jika tidak, maka kita tidak diizinkan untuk melintas di kampung tersebut. 

Saya tidak habis pikir dengan aturan yang dilandasi dengan ketakutan yang berlebihan tersebut. Coba bayangkan, bagaimana cara covid19 menyebar ke orang di perkampungan yang dilewati oleh orang yang naik kendaraan tersebut (jika seandainya pengendara tersebut  positif covid19)? 

Hal yang disayangkan adalah orang yang melaksanakan aturan dalam pos penjagaan tersebut umumnya adalah para mahasiswa. Harusnya kelompok masyarakat ini yang menjadi penerang di kalah masyarakat sudah menampakan gejalah kegelapan (jumud) pikir.

~Tomia, 23 Ramadhan 1441/ 15 Mei 2020

Komentar