Jogging di Jalan beraspal

Di jalan beraspal, seorang Ibu berjalan menuju kebun

Sudah berapa kali saya diajak oleh teman-teman untuk  jogging pagi saat Ramadhan. Aktivitas ini menghindarkan saya dari tidur. Pasalnya, usai subuh ditunaikan, rasa kantuk menghampiri dengan sangat. Bahkan sering tidak sadar akhirnya terpulas juga meski dalam keadaan duduk. 

Kami berjalan santai ke arah bandara Tomia di jalan sebelah utaranya. Jalannya bagus dan beraspal hasil pengerjaan proyek pemerintah. Tidak hanya kami yang berjalan lewat jalan itu, melainkan juga ada rombongan lain terutama rombongan bapak-bapak paruh baya yang mulai senja. 

Tujuan kami semua sama yakni untuk membuat badan lebih sehat sehingga imun tubuh kuat. Daya tahan tubuh yang kuat akan bisa membantu melawan penyakit atau virus seperti covid19, penyakit yang menyusahkan miliaran manusia di muka bumi.

Mulai berubah

Di sisi-sisi jalan yang kami lalui masih banyak rerumputan dan pohon-pohon hijau. Rumah-rumah juga ada tapi masih terbilang sedikit. Sehingga tidak salah jika udaranya ikut bersih dan segar, terlebih di pagi hari saat mata hari baru saja memecah subuh. 

Teman-teman saya 
Meskipun masih sedikit, landasan rumah dan persiapan rumah-rumah baru sudah mulai bermunculan. Rerumputan mulai dibabat. Kedepan, kawasan ini tidak akan sehijauh dan kualitas udaranya tidak akan sebersih ini karena hutan-hutan beton akan nampak bagai jamur di musing penghujan. Juga karena polusi kendaraan bermotor yang semakin mengudara. Yah, ini sudah tejari di tempat-tempat lain di sekitar kawasan ini. 

Saya sering bernostalgia dengan tempat-tempat tersebut saat melewatinya. Dahulu, sebelum ada proyek-proyek jalan sebagai simbol “pembangunan”, kawasan itu adalah kebun-kebun yang indah sebagai habitat hewan-hewan yang sekarang sudah mulai langkah. 

Saban sore, saya dan kawan-kawan masuk kebun untuk berburu burung-burung dengan ketapel yang dibuat dari tangkai kayu. Dalam pemburuan, sering kami menjumpai biawak dan ular. Di musim mangga, kami pergi mencari mangga di pohon yang dipunyai oleh nenek masing-masing. Ada juga yang pergi mengambil mangga dengan dalih bahwa pohon mangga tersebut adalah milik keluarganya, padahal milik orang lain alias mencuri. 

Dan masih banyak lagi cerita bahagia anak-anak desa seperti kami. Banyak pelajaran kehidupan yang sering tidak ditemui dalam ruang-ruang kelas sekolah. Kurikulum alam semesta.

Tapi semua itu sudah setahap demi setahap sirnah. Kini, pohon-pohon sudah ditebang dan rumput-rumput sudah menjadi aspal dan bangunan beton lainnya. Sayangnya saya tidak punya dokumentasi foto tentang suasana masa lalu. Pasalnya, saat itu tekhnologi tidak secanggih sekarang atau belum ada smart phone dengan teknologi kamera dan memori penyimpanan yang cukup. 

Seorang bapak sedang mencangkul
Seperti yang saya sudah sebutkan di atas, jalur jogging yang kami lewati sudah mulai menampkan tanda-tanda seperti itu: suasana natural secara perlahan akan tersingkir. Bahkan memang sudah terjadi perubahan drastis. Dulu, jalur tersebut (baca: jalur jogging) adalah kebun dan rumput belantara tapi sekarang tidak sama persis lagi. 
Agraris dan kebersamaan

Hal lain yang menarik adalah bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu masih mempertahankan budaya agraris sejak dulu. Dikalah subuh masih hening, mereka sudah memikul cangkul dan peralatan lainnya menuju kebun. Di beberapa tempat di pinggir jalan, saya melihat mereka sudah mencangkul dan menanam umbi-umbian untuk melanjutkan asap dapurnya agar terus mengepul. 

Saya juga melihat tradisi agraria ini mulai bergerak menuju kepunahan. Alasannya bisa macam-macam. Bisa karena lahan sudah sempit dan tidak produktif lagi untuk menopang ekonomi di tengah hidup yang penuh kompetisi. Bisa juga tidak ada lagi yang ingin jadi petani karena menganggapnya sebagai pekerjaan kelas dua. Ini butuh tulisan lain untuk diuraikan.

Saya senang pagi itu. Ketika berpapasan dengan bapak dan ibu pekebun (petani), mereka menyapa saya. Saya kadang hampir lupa dengan tradisi indah ini. Mungkin karena terlalu lama di kota rantauan yang tradisi individuallnya begitu kental. Tapi akhirnya saya juga membalas sapaan dan sesekali duluan menyapa. Ini kearifan lokal yang sangat aduhai. 

Meskipun modernisasi terjadi cepat dan massif di kota, tapi orang-orang kota harus banyak belajar pada orang-orang desa tentang nilai-nilai kebersamaan yang tidak jarang telah disingkirkan oleh modernitas dan mulai langkah di kota.

~Tomia, 24 Ramadhan 1441/16 Mei 2020 

Komentar