Tekanan sosial

Karena pademi covid19, karakter masyarakat Tomia dalam melakukan tekanan sosial cukup terasa. Hal itu bisa dilihat ketika saya pulang kampung sekitar tiga minggu yang lalu. Saat itu dan sekarang juga masih berlangsung, covid19 masih terus berkecamuk. 

Pasien yang disebabkan penyakit ini kian hari kian meningkat. Untuk korban sekarang di Indonesia (saat menulis artikel ini) sudah lebih 14 ribu dan di dunia sudah lebih 4 juta orang. Dan info terbaru untuk hari ini dinyatakan bahwa ada 6 orang positif di Kabupater saya, Wakatobi tepatnya di Pulau Binongko. Ini kasus positif pertama di kabupaten saya secara bersamaan. 

Pembicaraan tentang penyakit ini cukup marak di masyarakat tak terkecuali di kampug saya, Pulau Tomia. Salah satu faktornya adalah media di Indonesia baik nasional maupun lokal cukup menjejali mata, telinga dan pikiran masyarakat. Apalagi berita-berita yang disampaikan selama ini, lebih banyak yang menakutkan. “Bad news is good news”. Wacana yang terus menerus ini akhirnya mempengaruhi pikiran dan berimbas pada pola prilaku sosial masyarakat kita, bahkan sampai ke tingkat individu.

Ditambah lagi karakter masyarakat di kampung saya cukup heboh jika ada isu tertentu, lebih-lebih tentang fakta covid19 yang sudah memakan banyak korban ini. Ketakutan pun akhirnya muncul bahkan sering sampai pada tahap yang berlebihan (phobia), bahkan juga kadang menimbulkan respon yang tidak masuk akal. Ketakutan ini kemudian menjelma menjadi prilaku yang “saling mengingatkan” tentang bahaya corona sesama masyarakat.

Saya sengaja memberi penekanan pada “saling mengingatkan”, karena di sini tekanan sosial muncul. Saat saya pulang kampung sekitar 3 minggu yang lalu, saya mengarantina atau isolasi diri selama 14 hari. Ini sesuai dengan protokol kesehatan dari pemerintah. Tujuannya adalah untuk memastikan saya tidak terinveksi covid19 karena selama masa inkubasi atau masa hidupnya virus dalam tubuh penyebab covid19 (sars cov2) umumnya selama 14 hari. Sekali lagi pemerintah menganjurkan untuk mengisolasi diri selama rentan waktu ini untuk memutus rantai penyebaran virus ini.

Jadi selama 14 hari bisa dikatakan saya tidak keluar untuk jalan-jalan. Bisa jalan-jalan asalkan menghindari kerumumunan atau menjaga jarak (social distancing) tapi itupun jarang saya lakukan kecuali salah satunya untuk keperluan mencari sinyal internet yang bagus. Selain itu alasan lainnya dan ini yang cukup menjadi pertimbangan saya adalah “tekanan sosial” dari masyarakat. 

Efek ketakutan akan covid19 membuat masyarakat takut pada orang yang baru pulang kampung. Karena sesuai dengan pemberitaan media, orang-orang yang pulang kampung berpotensi membawa pandemi ini. Misalnya, saat saya lagi duduk santai di depan rumah, sering orang bertanya tentang kapan tiba. 

Sebenarnya pertanyaan ini hal biasa tapi untuk momen penyebaran penyakit ini, pertanyaan ini punya maksud lain. Orang-orang yang bertanya ingin memastikan bahwa saya sudah berada di kampung selama 14 hari. Misalnya, lebih sepesifiknya, ada yang bertanya sembari menyinggung saya agar tidak perlu keluar rumah. Bahkan agar tidak perlu pulang kampung dulu. Ada juga yang memastikan apakah saya dari zona merah atau daerah dimana pasien covid19 cukup banyak. 

Tentunya suasan pertanyaan dan dialog saya dengan para penanyanya akan lebih terasa tekanannya jika berada langsung di momen itu. Sehingga kadang setelah mereka memberi pertaayaannya, saya langsung masuk ke rumah karena merasa tertekan oleh sikap masyarakat tersebut.

Perasaan mendapat tekanan sosial seperti ini bukan hanya saya yang mengalami. Orang-orang yang pulang kampung lain terutama mahasiswa juga mendapatkan hal yang sama. Saya katakan demikian karena sesuai dengan apa yang mereka ceritakan. 

Selain karena efek pemberitaan media yang menakutkan, tekanan sosial yang dilakukan oleh masyarakat ini juga dipengaruhi oleh masih kuatnya solidaritas sosial masyarakat. Di kampung saya, saling kenal mengenal di antara masyarakat masih cukup kuat sehingga ada saling “menegur” di antara masyarakat. Namun, terkadang juga tekanan sosial membuat risih apalagi sudah sampai pada tahap yang keterlaluan.

Sisi lainnya adalah kerja pemerintah untuk memutus tali penyebaran penyakit ini cukup terbantukan oleh tekanan sosial semacam ini. Mungkin di daerah lain terlebih di masyarakat urban (kota) yang ikatan sosialnya sudah renggang, tekanan sosial semacam ini tidak kuat bahkan tidak ada. Oleh karena itu, saya setuju-setuju saja dengan tekanan sosial semacam ini di tengah amukan covid19 ini. 

~Tomia, 20 Ramadahan 1441/13 Mei 2020

Komentar