Pertama Kali Jadi Khatib

Karena kondisi yang memaksa akhirnya jumat kemarin ((17/07) saya menjadi pembaca khutbah (khatib). Ini pengalaman pertama saya. Kebetulan di masjid yang biasa saya kunjungi (Masjid Haji Tarmidzi) untuk shalat kekurangan khatib. Para khatib biasanya ditunjuk dari para pemuda. Sehingga pada gilirannya, saya mendapat giliran. 

Masjid tempat kami shalat ini agak fleksibel dalam urusan penunjukan khatib. Para jamaah terutama para orang tua memberi kebebasan penuh kepada pemuda untuk tampil. Berbeda dengan beberapa masjid lain yang harus orang tua sebagai pembaca khutbah. Kalau dalam perkiraanku, alasannya adalah mereka tidak terima kalau anak muda memberi nasihat dalam setiap sahalat jumat tersebut. 

Bagi saya, cara berpikir demikian tidaklah cocok karena para orang tua terkesan menganggap diri mereka adalah sumber kebenaran, sedangkan anak muda tidak. Padahal banyak anak muda yang memiliki pengetahuan agama yang tidak kalah dibanding para orang tua tersebut. 

Belum lagi jika dilihat dari bagaimana para khatib tersebut berceramah. Maksudnya mereka juga membaca teks yang sudah diambil dari berbagai sumber. Jika demikian faktanya, tidak ada bedanya dengan khatib lain termasuk anak muda yang berceramah menggunakan teks.

Padahal Ali bin Abi Thalib pernah berkata: Jangan melihat siapa yang berbicara tapi dengarlah apa yang dibicarakan. Pernyataan ini jelas bahwa semua sama dalam soal kebenaraan. Ulama besar, Imam Syafii juga pernah dipercaya membawa ceramah saat usia tujuh tahun. 

Kembali ke certia saya. Karena menjadi khatib adalah pengalaman pertama saya, tentunya ada rasa sedikit kaku. Bahkan sebelum yang menyatakan kesediaan, saya masih mempertimbangkan dahulu. Pasalnya, ini hal yang berbeda dengan berbicara di depan umum terkait topik non ceramah. 

Menjadi pembicara di depan publik sudah sering saya lakukan tapi jika soal membaca khutbah maka saya harus hati-hati. Soalnya, ini persoalan agama dimana saya tidak bisa sesuka  hati berbicara apalagi beropini. 

Agama punya aturan main sendiri. Butuh orang yang pakar untuk mengutip dalil-dalil untuk menasihati orang lain. Oleh karena itu, cara yang saya lakukan adalah mengambil ceramah yang ada di buku  (e-book), kemudian mencetaknya agar lebih gampang dibaca.

Kehadiran saya sebagai khatib merupakan indikasi adanya krisis penceramah di kampung saya. Masih jarang penceramah yang mumpuni. Kalaupun ada, perbandingan dengan jumlah penduduk sangatlah timpang. 

Ini juga menjadi dorongan bagi saya untuk memperdalam ilmu agama. Selain untuk diri sendiri, tentunya untuk mengantisipasi kekosongan penceramah seperti ini (untuk orang lain).

~Tomia, 21 Juli 2020

Komentar