Membeli Ikan

Saya teringat waktu di Jogjayakara beberapa bulan silam. Ikan laut tidak mudah ditemukan. Ikan yang saya maksud adalah ikan mentah yang belum diolah. Terlebih lagi, ikan segara yang barusan ditangkap tanpa melalui proses pengawetan seperti diberikan es atau dimasukan di dalam kulkas. Di kota ini, ayam yang mudah ditemukan. Suatu pagi misalnya, saya berjalan-jalan di beberapa lokasi yang tidak terlalu berjauhan, ayam potong dijual dengan cukup banyak. Para penjual bersaing satu sama lain untuk menarik konsumen agar membeli ayam yang dijualnya.

Kondisi ini kontras dengan apa yang terjadi di Tomia, kampung halaman saya. Ikan sangat mudah ditemukan. Maklum saja, karena kami tinggal dekat dengan laut dan nelayan pun cukup banyak. Laut kami juga Alhamdulillah kaya akan ikan. Jika kita mencari ikan yang dijual, tidak sulit ditemukan. 

Contohnya, saya yang tadi pagi mencari ikan yang dijual. Cukup ke tempat-tempat dimana di situ banyak penjual ikan, maka ikan biasanya selalu ada. Ikannya pun rata-rata ikan segar yang baru ditangkap. Jika ada ikan yang dingin karena pernah ditempatkan di wadah yang ditaruh es, maka itu disebabkan karena ikannya ditangkap tadi malamnya. Jadi bisa dikatakan, ikannya masih segar.

Kembali ke cerita tadi pagi. Rasanya tidak afdol jika tidak makan ikan. Apalagi jika di rumah ikan sudah tidak ada. Lauk lain ada, misalnya telur, tapi kadang bosan juga. Ikan tidak demikian. Jika kita bosan sementara, maka jenis ikan lain tersedia. Oleh karena itu untuk mendapatkan ikan tadi pagi, saya mengendarai motor saya menuju “sompe”, sebuah nama tempat dimana banyak penjual ikan menjajakan ikannya, tepatnya di berada di Kelurahan Tongano Barat. Di tempat ini, masyarakatnya banyak yang mendedikasikan hidupnya untuk menjual ikan, baik sebagai nelayan, juga sebagai penada ikan dari nelayan, kemudian di jual.

Maka tibalah saya di sompe. Saya memantau dulu – dengan kondisi masih mengemudikan motor – apakah ada ikan yang disuka pagi itu atau tidak. Jenis ikan bervariasi sehingga saya akan memilih ikan mana yang kira-kira akan dimakan hari itu dan mungkin hari besok, dan setelah habis baru pilih jenis ikan lain lagi atau tetap ikan yang sejenis dengan sebelumnya. Tergantung pilihan saja dan situasi serta kondisi tentunya.

Akhirnya pilihan saya jatuh pada ikan momar (di kota tertentu, ikan ini juga disebut dengan ikan layang. Saya yakni sangat mungkin di tempat lain ikan ini memiliki nama yang berbeda). Ikannya kecil-kecil tapi tidak terlalu kecil atau di bawah ukuran sedang (meskipun ukuran ini subjektif). Harganya cukup murah apalagi jika saya bandingkan dengan harga ikan tersebut di kota, kota bau-bau misalnya. 

Harganya sepuluh ribu dolar, eh, rupiah, yang terdiri dari banyak ekor. Kalau saya bandingkan dengan harga di Kota Bau-Bau, harga tersebut bisa dua puluh ribu atau lebih. Perbedaan harga ini karena ikan di sini yang cukup banyak dan tidak melalui distribusi yang panjang seperti halnya di kota tersebut.
Setelah saya bayar, saya pulang. Saya bersihkan ikannya. Insang dan isi perutnya saya buka. Sebenarnya insangnya tidak ingin saya buka tapi istri meminta untuk membukanya jadi saya buka dong. Semua bersih, istri saya memasak dan menggorengnya.

Kurang lebih lima belas menit kemudian, Ibu saya menelpon untuk mengambil ikan yang barusan dibelinya. Ikan tersebut adalah ikan yang sama dengan yang saya beli. Hari itu, ikan tersebut cukup banyak dijual dan harganya murah. Saya sampaikan ke Ibu bahwa kami sudah lebih duluan membeli. Akhirnya, ibu menyuruh saya untuk membawa ikan yang dibelinya ke rumah dan menyimpannya dalam kulkas dahulu. Saat itu Ibu masih di sekolah dan tidak langsung pulang ke rumah karena akan ke rumah nenek.

Tomia, 7 Februari 2023
 
 
 

Komentar